Indonesia Milik Allah: Hukum Penggunaan Kamera Pengawas (CCTV), dan Apakah gambar Rekamannya Merupakan Bukti Syar’iy?

Hukum Penggunaan Kamera Pengawas (CCTV), dan Apakah gambar Rekamannya Merupakan Bukti Syar’iy?





















Hukum Penggunaan Kamera Pengawas (CCTV), dan Apakah gambar Rekamannya Merupakan Bukti Syar’iy?

Oleh Syaikh Atha' Abu Ar Rosytah

Pertama, hukum CCTV terderivasi di bawah kaedah syar’iyah “Hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak datang dalil yang mengharamkan". Karena tidak ada dalil yang mengharamkan, maka hukum CCTV tetap pada hukum asalnya yaitu mubah.

Akan tetapi, sesuatu yang mubah jika digunakan dalam aktivitas yang haram maka penggunaan ini menjadi haram. Hal itu sesuai kaedah syar’iyah kulliyah “wasilah kepada yang haram adalah haram". Atas dasar itu, jika kamera pengawas digunakan dalam perkara yang boleh seperti mengawasi toko untuk mencegah pencurian, maka itu boleh. Namun jika penggunaan CCTV itu untuk tajassus (memata-matai) masyarakat, atau untuk menelisik aurat maka menjadi haram.

Kedua, gambar yang diperoleh melalui kamera pengawas secara syar’iy tidak layak menjadi bukti atas suatu kejahatan. Sebab bukti syar’iy yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iy adalah empat jenis saja, yaitu: pengakuan (al-iqrâr), sumpah (al-yaminu), kesaksian (asy-syahâdah) dan dokumen tertulis yang dipastikan.

Atas dasar itu, maka rekaman kamera pengawas bukan bagian dari bukti. Akan tetapi tidak berarti rekaman kamera pengawas tidak ada nilainya. Rekaman kamera pengawas dapat menjadi petunjuk. 'Petunjuk' tidak sama dengan 'bukti'

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahîh-nya, “Seorang Yahudi menjepit kepala seorang hamba sahaya perempuan diantara dua buah batu, lalu dikatakan kepada hamba sahaya perempuan itu: “Siapa yang melakukan ini kepadamu, apakah Fulan atau Fulan? Sampai disebut nama seorang Yahudi lalu hamba sahaya perempuan itu memberi isyarat dengan kepalanya. Lalu Yahudi itu didatangkan dan dia mengakui, maka Nabi saw memerintahkan dan dia pun dijepit kepalaya dengan batu”

Jadi bukti adalah pengakuan dan pembenaran Yahudi itu, sedangkan petunjuknya adalah ucapan hamba sahaya.

Maka semua petunjuk dan semisalnya, semua itu dijadikan petunjuk dan tidak menjadi bukti syar’iy kecuali dari ke empat bukti syar'i yang telah disebutkan oleh nash syara'

Follow official Instagram dari #HizbutTahrir Indonesia @hizbuttahririd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Indonesia Milik Allah Urang-Katrok